Kamis, 18 November 2010

Belajar dari Ibrahim


Memperingati Hari Raya Iedul Adha, tak hanya bersinggungan dengan hewan kurban dan Ibadah Haji, tapi dalam pada itu ada makna besar dibalik adanya peringatan Iedul Adha, yakni belajar dari perjalanan panjang Nabi Ibrahim As.

Perjalanan Ibrahim untuk menemukan Tuhan tidaklah mudah, dia harus melalui perjalanan panjang dan proses rohaniah yang berliku-liku. Dia tidak tahu apa dan bagaimana Tuhan itu. Keingintahuannya akan sosok Tuhan berawal dari kegelisahannya atas dirinya sendiri. seperti sebuah pertanyaan filsafati “siapakah diriku dan darimanakah diriku berasal? “

Ibrahim menyadari bahwa dirinya adalah sebuah mahluk yang berada disebuah tempat bernama dunia, sebuah tempat dan ruang dimana terdapat makhluk-makhluk lain selain dirinya yang tak mungkin ada dengan sendirinya. Dibalik semua keajaiban itu tentu ada suatu Dzat yang maha super ajaib sehingga bisa menciptakan jagat raya semacam ini. Dari sinilah Ibrahim memuai dialog dengan dirinya sendiri dan alam akan siapakah Tuhan itu, Apa dan Bagaimana Dia.

Nampaknya Tuhan tidak ingin hamba istimewanya ini mendapatkan keagungan secara instant, Tuhan membiarkan Ibrahim gelisah dalam pencariannya, memberikan ruang luas semesta sebagai laboratorim tempat menguji hipotesis-hipotesis Ibrahim tentang Tuhan hingga dia dapat menemukan sendiri jawabannya.

Ibrahim sempat berprasangka bahwa Matahari itu adalah Tuhan, karena menjadi sumber energy terbesar alam dan bersinar setiap hari, tapi kemudian dia merevisi pendapatnya itu karena Matahari tak selalu bersinar, adakalanya dia terbenam, dan dia sadar bahwa Tuhan tidak mungkin timbul dan tenggelam.

Kala malam tiba muncullah bulan dan bintang gemintang yang indah dilangit, Ibrahim kembali berhipotesis bahwa Bulan adalah Tuhan karena dapat menerangi gelapnya malam, tapi lagi-lagi dia meralat sendiri pendapatnya itu, karena Bulanpun tak selamanya menerangi malam, ada kalanya dia berubah bentuk, dan menghilang, dan sudah barang tentu –seharusnya- Tuhan tak berubah bentuk, berkurang, ataupun bertambah, Tuhan adalah Absolut.

Dari hipotesis-hipotesis itu sampailah Ibrahim pada kesimpulan bahwa Matahari, Bulan dan bintang gemintang bukanlah Tuhan, ada suatu Dzat Yang Maha Agung dibalik semuanya. Mereka (Matahari, Bulan, dan Bintang gemintang) bahkan seluruh jagat raya ini hanyalah sebuah mahluk kecil yang dibuat oleh Dzat Yang Maha Agung, Sang Pencipta. Sang Pencipta itulah yang kemudian juga mengatur “rutinitas” Matahari, Bulan dan bintang gemintang dalam sebuah system raksasa semesta, Dia adalah Dzat yang Menentukan Hukum Alam atas KehendakNya sendiri.
Tak diragukan lagi, Ibrahim meyakini Dzat yang Maha Pencipta itulah yang disebut Tuhan.

Tidak hanya sampai disitu, Pasca Ibrahim menemukan Tuhan, dia masih harus terus berproses memantapkan keyakinan itu, karena memang sejatinya Tuhan itu tak berbentuk wujud seperti makhluk, tapi Dia adalah sebuah ada yang keberadaannya karena sifatnya yang “Maha Ada” (Sifat pertama Ketuhanan : Wujud).

Sebuah keyakinan pasti mempunyai konsekuensi, yaitu perjuangan atas apa yang diyakini. Ibrahim-pun rela dibakar hidup-hidup dalam api yang menyala karena mempertahankan keyakinan atas Tuhannya, dan pada akhirnya Tuhan telah merubah api itu menjadi dingin dan Ibrahim selamat dari amukan api.
Perjalanan untuk mempertahankan keyakinan tak akan pernah mudah. Suatu ketika Tuhan menguji ketaatan Ibrahim dengan menurunkan perintah untuk menyembelih putra yang dicintainya (Nabi Ismail) sebagai kurban. Keraguan muncul dihati Ibrahim. Ismail adalah putra yang selama berpuluh-puluh tahun dinantikannya, putra yang sangat dicintainya, dan tiba-tiba Tuhan -yang diyakininya secara penuh- memerintahkan dirinya untuk menyembelih putranya itu. Namun Ibrahim tak lantas goyah dalam godaan, diapun berdialog dengan putranya (Ismail) tentang perintah Tuhan itu, dan diluar dugaan Ibrahim, Ismail justru memperteguh keyakinan Ayahandanya untuk melaksanakan perintah Tuhan seberat apapun itu.

Tuhan memang maha kuasa dan maha berkehendak. Tuhan menyelamatkan Ismail dari –tragedi- penyembelihan itu dan mengutus Malaikat Jibril untuk menggantikannya dengan seekor kambing. Tuhan telah menyelamatkan Ibrahim sebagaimana Dia juga telah menyelamatkannya dari kobaran api. Ibrahim tak pernah menyerah pada keragu-raguan atas apa yang yakininya, dan menjalankan apapun perintah Tuhannya, seberat apapun itu. Peristiwa penyembelihan Ismail inilah yang menjadi cikal bakal perayaan Hari Raya Iedul Adha. Penyembelihan hewan kurban adalah semata symbol ketaatan Manusia atas Tuhannya.

Dari proses yang panjang itu, tak heran jika Nabi Ibrahim As. menjapat gelar Bapaknya Para Nabi (Abul Anbiyaa’)

Manusia Istimewa tidak hanya ada karena dilahirkan tapi karena proses yang dijalaninya hingga menjadi Manusia yang Istimewa. Ada dua pelajaran besar yang dapat diambil dari perjalanan Nabi Ibrahim As. yang diperingati saat Iedul Adha, yaitu tentang Keteguhan Hati dalam menjalani proses kehidupan dan Keikhlasan dalam menerima segala konsekuensi atas setiap proses itu.

Semoga kita menjadi Manusia yang bisa belajar dan mengamalkan ajaran Nabi Ibrahim As. menjadi pribadi yang teguh dalam berusaha dan ikhlas dalam berdoa, amin….

Selamat Hari Raya Iedul Adha, 10 Dzulhijjah 1431 Hijriyah.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar