Jumat, 06 Maret 2009

ANALISIS PASAL 285 KUHP TENTANG PERKOSAAN


DALAM PERSPEKTIF HUKUM KRITIS*


Hukum pada hakekatnya adalah dibentuk untuk mengatur hidup manusia dan mempermudah hidup manusia. Jadi memang selayaknya hukum tumbuh dan berkembang seiring dengan perkembangan manusia, ubi societas ubi ius, dimana ada manusia disitu ada hukum.
Namun demikian hukum dalam arti hukum positif yang dianut oleh sebagian besar negara, termasuk Indonesia, nampaknya tidak lagi dapat memenuhi tuntutan perkembangan kehidupan manusia yang lebih kompleks. Hukum positif dalam arti hukum (peraturan perundang-undangan) yang berlaku saat ini dan dibuat secara prosedur formal oleh organ negara sudah tidak mampu menjangkau fenomena di dunia nyata. Maka tidak salah apa yang dikatakan Karl Max bahwa hukum (positif) senantiasa ketinggalan dengan perkembangan ekonomi dan teknologi.
Dengan demikian, menurut teori hukum kritis (Critical Legal Studies) hukum positif yang ortodoks dan ‘kuno’ yang sudah ketinggalan zaman tersebut seharusnya sudah ditinggalkan serta perlu pengkajian ulang secara mendalam terhadap hukum positif yang ada. Sehingga menurut Satjipto Raharjo hukum itu tidak boleh mandeg dan mati, hukum harus terus berkembang mengiringi kehidupan manusia.

Analisis Pasal 285 KUHP dalam Perspektif Hukum Kritis
Teori atau studi hukum kritis menghendaki pembaharuan terhadap hukum positif yang dinilai ortodoks, kuno, dan formalistik dengan pendekatan yang lebih kritis. Studi hukum kritis memandang bahwa hukum positif yang berlaku tidak selamanya sesuai karena masyarakat terus berkembang dan hukum positif akan ketinggalan dengan fenomena itu.
Salah satu peraturan dalam hukum positif yang dapat dianalisis dari sudut pandang teori hukum kritis adalah pasal 285 KUHP tentang perkosaan. Dalam pasal ini perkosaan dirumuskan sebagai tindakan “… dengan kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa perempuan yang bukan istrinya bersetubuh dengan dia…”. Unsur-unsur yang terdapat dalam tindak pidana ini antara lain: dengan kekerasan atau ancaman kekerasa; memaksa perempuan yang bukan istrinya; untuk melakukan hubungan seksual (bersetubuh). Dalam konteks masyarakat saat ini, rumusan ini tentunya sangat ketinggalan zaman, karena kejahatan perkosaan saat ini mengalami perkembangan yang luar biasa baik modus operandi dan modelnya.
Misalnya; bagaimana jika seandainya “perkosaan” itu terjadi tidak dalam bentuk persetubuhan (contohnya dengan memasukkan penis ke mulut dan anus atau memasukkan benda-benda lain ke vagina), bagaimana jika perkosaan tersebut terjadi terhadap istri (marital rape) atau bagaimana jika korban perkosaan itu adalah laki-laki? tentunya pertanyaan ini tidak dapat dijawab oleh hukum positif. Jika para penegak hukum (polisi, jaksa, hakim) tetap menggunakan hukum positif dan logika formal (pasal 285 KUHP) an sich dalam kasus-kasus perkosaan, maka kemungkinan akan banyak kasus perkosaan dan pemerkosa yang lepas dari jeratan hukum karena perbuatannya tersebut tidak termasuk dalam unsur-unsur pasal 285 KUHP. Beberapa kelemahan yang terdapat dalam KUHP tersebut sangat wajar mengingat usia KUHP saat ini lebih dari 60 tahun.
Dengan demikian, menurut studi hukum kritis penerapan pasal 285 KUHP secara an-sich oleh aparat penegak hukum harus sudah mulai ditinggalkan. Artinya, aparat penegak hukum harus membuka wacananya bahwa kejahatan perkosaan terus berkembang sehingga tidak hanya menerapkan hukum secara tekstual menggunakan logika formal, tetapi juga kontekstual menggunakan nalar dan hati nurani sebagai pisau alanisis dalam menyelesaikan perkara hukum.
Di Indonesia, praktek penggunaan analisis hukum kritis ini bukan barang baru, hal ini sudah diperkenalkan oleh Bismar Siregar, seorang Hakim yang sangat hebat di era tahun 1980-an yang berani menggunakan nalar pikirnya melampaui hukum positif yang ada pada waktu itu. Meskipun pada akhirnya putusannya dimentahkan oleh pengadilan yang lebih tinggi, namun dari situ dapat dilihat bahwa kelemahan hukum positif adalah tidak mampu menjangkau perkembangan kehidupan manusia yang sangat kompleks, sehingga perlu dilakukan kritik dan pembaharuan terhadap hukum secara terus menerus.

KUHP sebagai landasan hukum positif dalam bidang kepidanaan harus segera diperbahui mengingat usianya yang sudah ‘tua’ dan sudah tidak dapat mengikuti perkembangan dunia kriminalitas yang semakin pesat dan canggih. Penerapan kajian hukum kritis terhadap hukum positif harus ditingkatkan, khususnya oleh aparat penegak hukum. Karena saat ini hakim dan penegak hukum lainnya tidak lagi hanya sebagai corong undang-undang, tetapi juga harus kritis dalam menerapkan hukum agar tercipta keadilan dalam masyarakat.





Selasa, 03 Maret 2009

Thank you 4 Not Smoking

Percaya atau tidak, satu hal yang membuat kisah cintaku berjalan mulus hingga saat ini adalah karena pacarku tidak merokok. Bagi sebagian orang mungkin ini hal sepele, tapi memang itulah yang terjadi, orang tuaku langsung menyetujui hubungan kami karena pacarku tidak morokok. Dengan kata lain, salah satu kriteria yang ditetapkan oleh orang tuaku terhadap orang yang hendak memacari anaknya adalah :bukan perokok hehehe…..


Merokok adalah kebiasaan yang tidak bisa dipisahkan dari kehidupan sebagian besar masyarakat Indonesia. Hingga saat ini tembakau menjadi sebagai penyebab utama tingginya angka kematian (selain factor usia dan takdir tentunya). Tercatat sebanyak 1.172 orang di Indonesia meninggal setiap hari karena tembakau. Selain itu penyakit yang ditimbulkan akibat merokok tidak main-main seperti penyakit jantung dan gangguan pembuluh darah, kanker paru-paru, kanker rongga mulut, kanker laring, kanker osefagus, bronkhitis, tekanan darah tinggi, impotensi serta gangguan kehamilan dan cacat pada janin.
Meskipun akibat yang ditimbulkan sangat menakutkan, namun nampaknya tidak mengurangi tingginya angka pengkonsumsi rokok di Indonesia. Ironisnya lagi sebagian besar pengkonsumsi rokok adalah dari kalangan ekonomi lemah. Sebanyak 84,8 juta jiwa perokok di Indonesia berpenghasilan kurang dari Rp 20 ribu per hari–upah minimum regional untuk Jakarta sekitar Rp 38 ribu per hari atau sekitar 70 persen dari jumlah keseluruhan perokok di Indonesia adalah berasal dari kalangan keluarga miskin.
Menurut data Survei Ekonomi dan Kesehatan Nasional (Susenas), konsumsi rumah tangga miskin untuk tembakau di Indonesia menduduki ranking kedua (12,43 persen) setelah konsumsi beras (19.30 persen). Ini berarti bahwa orang lebih memilih membeli rokok dari pada memenuhi gizi dan pendidikan keluarganya (aneh!).
Namun demikian, menghentikan peredaran rokok atau melarang orang merokok –begitu saja- nampaknya tidak mungkin. Hal ini mengingat banyaknya orang yang sudah menggantungkan hidupnya kepada rokok dan segala faktor yang terkait dengan rokok, apalagi menutup pabrik rokok, itu jelas tidak mungkin. Bisa dibayangkan berapa juta orang yang akan kehilangan mata pencahariannya jika 1 pabrik rokok saja ditutup, belum lagi efek samping yang akan ditanggung masyarakat luas. Hal ini yang sering dijadikan apologi atau alasan pembenar bagi “ahli hisap” (istilah bagi perokok).
Fatwa MUI tentang pengharaman rokok yang saat ini lagi hangat diperbincangkan, nampaknya akan menjadi sia-sia mengingat isinya yang tidak lebih dari pesan yang sudah ada di bungkus rokok (merokok dapat menyebabkan kanker, gangguan kehamilan dan janin dan sebaginya…..). Masalah perokok anak-anak pun nampaknya tidak akan terselesaikan selama dalam keluarga itu (ayah atau keluarga yang lain) masih dibebaskan untuk merokok…. Ya, isi Fatwa MUI itu mungkin dapat dipahami dan dimaklumi jika isinya seperti itu, mengingat banyak Pak Kiai yang juga perokok berat bahkan ada yang memiliki pabrik rokok, pengusaha rokok, distributor rokok, tengkulak tembakau dan sebagainya. bisa dibayangkan jika MUI melarang rokok untuk semua kalangan, bisa diperkirakan, banyak Pak Kiai yang wolk out dari MUI….
Oleh karena itu perlu solusi cerdas dan kreatif untuk mengatasi masalah rokok dan perokok ini, antara lain: pertama, naikkan biaya cukai rokok. Harga rokok di Indonesia sangat murah dari pada negara-negara lain, hal ini karena biaya cukai rokok sangat rendah sehingga harga rokok murah. Kebijakan ini sedikit demi sedikit sudah mulai diterapkan oleh pemerintah untuk menekan peredaran rokok, namun nampaknya dengan harga yang masih rendah itu setiap orang bisa membeli rokok. Jika nilai rokok sudah melabung tinggi –melebihi harga kebutuhan bahan pokok- maka orang akan pikir-pikir untuk membeli rokok, apa ia dia selamanya akan memilih merokok dari pada makan???
Kedua, tutup pabrik rokok, ganti dengan pabrik makanan dan minuman (susu lebih diutamakan). Menutup pabrik rokok memang tidak mungkin, tetapi mengganti jenis produksinya bisa saja dilakukan. Pabrik tetap bisa beroprasi dan buruh masih bisa bekerja. Dengan demikian masyarakat bisa sehat, dan terhindar dari makanan-makanan impor yang banyak mengandung penyakit.
Ketiga, impor semua tembakau. Tidak dapat disangkal bahwa Indonesia adalah negara penghasil tembakau terbesar ke 2 di dunia, dan Jember adalah penghasil tembakau terbaik di dunia. Dengan kelebihan ini tentu kita dapat memanfaatkan hasil bumi kita untuk diekspor, sehingga petani tembakau tidak perlu resah akan hasil panennya dan justru dapat meningkatkan penghasilan mereka.
Meskipun kelihatannya sulit, tetapi tidak ada sesuatu yang tidak mungkin jika pemerintah –dan kita semua tentunya- punya komitmen dan political will untuk mengatasi masalah rokok dan perokok. Bukan hanya dengan membuat Perda atau Fatwa yang melarang orang merokok atau menyediakan ruang khusus bagi perokok tetapi solusi yang diambil haruslah ‘radikal’ (mengakar) dengan mencari dan memecahkan akar permasalahan yang sebenarnya. Jika semua pihak punya komitmen, impian Indonesia sehat dan sejahtera bukan hanya cita-cita.