Minggu, 21 Agustus 2011

Pintu Itu Bernama OSPEK

Ospek akronim dari orientasi pendidikan. Dikampus saya ospek dikenal dengan istilah PK2 MABA –saya kurang tau juga apa artinya, tapi tujuannya kurang lebih untuk mengenalkan kepada mahasiswa baru tentang apa yang namanya kampus dan isinya. Semacam welcome ceremony bagi mahasiswa baru. Tahun ini kampusku menerima kurang lebih 14.000 maba, angka ini naik sekitar 25% dari tahun sebelumnya. sebuah angka yang fantastis menurut saya mengingat daya tampung dan mahalnya biaya pendidikan disana.

Ini ketiga kalinya saya mengikuti ospek dengan posisi yang berbeda, pertama tentu saja sebagai mahasiswa baru peserta ospek, kedua sebagai panitia ospek dari mahasiswa, dan ketiga sebagai dosen penyelenggara ospek, dosen baru lebih tepatnya.

Perubahan posisi dalam kegiatan ospek juga berpengaruh pada cara pandang saya terhadap ospek, saat menjadi Maba pada tahun 2003, tak ada apapun yang dipikirkan kecuali mengikuti seluruh rangkaian kegiatan dengan antusias meski terkadang kesal karena harus begadang mengerjakan tugas yang konyol dari kakak senior.

Tahun 2004-2005 saya menjadi panitia ospek dari mahasiswa. Cara pandangpun berubah, saya menempatkan diri sebagai senior, tidak lagi menjadi ‘obyek’. Pada fase ini, pola pendekatan yang digunakan adalah senioritas, pola hubungan yang dibangun adalah senior-junior, kakak-adik. Pola hubungan seperti inilah yang sering menimbulkan arogansi dikalangan kakak paitia ospek –sebagai senior- yang tidak mau disalahkan, anti protes dan cenderung mengintimadasi. Saya pikir tak ada yang salah dengan itu, selama nilai yang ingin dibangun adalah cinta almamater dan penguatan karakter. Tentu sepanjang tidak bertentangan dengan norma hukum dan etika yang ada.
Dalam pada itu, sebenarnya ada pertarungan nilai disana, ada muatan nilai-niai yang ingin disampaikan senior. Menanamkan jiwa pemberontak, jiwa berani untuk melawan, jiwa ketidaksukaan terhadap kekerasan, sehingga jika pada saat pelaksanaan ospek ada maba yang berani menantang senior, justru senior senang karena provokasinya berhasil dan doktrinasi itu berjalan.

Tahun ini, saya menjadi bagian dari penyelenggara kegiatan ospek, dosen panitia/pengawas ospek tepatnya. Sangat berbeda dengan sebelumnya, pada fase ini pendekatan yang digunakan adalah pendekatan akademis birokratif. Pembelajaran dan pengenalan birokrasi. Karena dosen merupakan bagian dari birokrasi kampus maka ospek –bagi dosen- adalah masa pengenalan kampus ‘birokratistik’ dan seluk beluk dunia akademis. Kurang lebih berisi tentang motifasi maba untuk semangat berkuliah, menjadi mahasiswa yang baik mengikuti seluruh kegiatan perkuliahan, tidak membuat masalah, dan lulus tepat waktu dengan nilai bagus.

Secara keseluruhan ospek khususnya difakultas saya -hukum - sangat jauh berbeda dengan ospek jaman saya dulu. Sudah tak ada lagi suara pentungan yang menggelegar di sepanjang tangga, lorong dan ruang kelas, tak ada bentakan atau teriakan di depan kuping, tak ada kata “kamu mau mati ya?” dari kakak senior jika melakukan kesalahan. Karena memang cara-cara seperti itu sudah tidak relevan untuk digunakan dan tidak bermartabat. Semua berjalan soft dan berorientasi pendidikan an-sich.

Adakah yang salah dengan itu? Saya rasa juga tidak, karena tujuan utama mahasiswa adalah belajar dan berkarya. Tetapi terasa ada yang kurang bagi saya, mahasiswa saat ini tidak diperkenalkan dan ditanamkan jiwa “ke-maha-siswaan”, jiwa yang tidak anti sosial, jiwa yang penuh mimpi indah akan perubahan, jiwa yang kritis, dinamis dan humanis. Kali ini rasanya ospek terlalu manis, terlalu banyak gula akademis yang disuguhkan. Kurang garam. Tak diceritakan bagaimana susahnya menentukan pilihan selama kuliah atau serunya menjadi mahasiswa dengan semangat idealisme yang menggebu-gebu.

Ospek selalu menyimpan cerita, setiap generasi menyimpan ceritanya sendiri, mugkin bagi sebagian mahasiswa baru ospek hanya hal biasa saja, rutinitas pra kuliah yang harus dilalui, tak berkesan. Tapi mungkin bagi sebagian mahasiswa lainnya ospek adalah pintu, menuju ruang baru yang penuh dengan warna. Pintu yang akan merubah hidupnya selama 4 tahun kedepan atau bahkan sepanjang karirnya.

Selamat datang mahasiswa baru FH 2011.
Fiat Justicia Ruat Coelum (sekalipun langit runtuh hukum harus ditegakkan)

Puasa bersama Nenek

Ini pertama kalinya aku menjalankan ibadah puasa di tanah leluhurku, meski dulu aku pernah menghabiskan masa SMP disana tapi saat bulan puasa aku memilih mudik ke rumah ibu di Jember. Cuaca di madura memang tidak terlalu bersahabat saat bulan puasa, panas, tapi pengalaman pertama ini sangat penyenangkan.

Saat bulan Ramadhan, rumah kami menjadi pusat kegiatan anak-anak. Orang Madura dikenal sangat religius, saat bulan ramadhan sekolah madrasah (SD) libur, anak-anak banyak menghabiskan waktu di masjid atau mushalla, karena rumah nenek berselebahan dengan masjid terbesar di kampung dan dirumah nenek juga terdapat mushalla khusus putri jadilah rumah kami sangat ramai saat bulan puasa.

Kegiatan mengaji dimulai pukul 10.00 pagi hingga pukul 15.00 sore, waktu lima jam itu terasa sebentar karena mereka tidak hanya mengaji, mereka juga bisa bermain dan nonton tv.

Anak-anak yang mengaji di rumah nenek sebagian besar berasal dari keluarga pra-sejahtera, dan tidak punya televisi, ada juga yang sudah yatim piatu atau ditinggal orang tuanya menjadi TKW/I di luar negeri. Kadang mereka tak mau pulang hingga menjelang maghrib, kami sering menyiapkan makanan ekstra buat mereka.

Bagaimana denganku? apa yang aku lakukan? Tak banyak yang aku lakukan disana, seperti biasanya aku menjadi baby sitter, menemani sepupuku yang paling bungsu bermain, mengajarinya berjalan dan menjaganya dari hal-hal yang membahayakan, sementara ayahnya mengajar mengaji anak-anak dan ibunya memasak. Sesekali aku juga ikut bermain bersama anak-anak, atau membantu nenek dan tante menyiapkan hidangan buka puasa dan tadarrus.

Menyenangkan sekali melihat anak-anak semangat mengaji, serasa seperti dalam lagu “Suasana di Kota Santri” ;)

Suasana di kota santri
Asik senangkan hati
Tiap pagi dan sore hari
Muda mudi berbusana rapi
Menyandang kitab suci
Hilir mudik silih berganti
Pulang pergi mengaji.

Mungkin yang agak menyebalkan adalah peringatan Imsaknya yang –keterlaluan- dini, mulai pukul 12.00. menurut takmir masjidnya, ini dilakukan untuk membangunkan orang agar mau shalat malam dan memasak untuk makan sahur.

Diantara semua alarm alam pembangun sahur seperti ayam jago, jangkrik, kodok, tokek dan kawan-kawan, yang paling menggelegar dan berhasil membuatku langsung terperanjat bangun adalah suara sapi tetangga sebelah yang suaranya seperti paduan suara sedang konser dengan sound 5000 mega volt, maooooooooo....., keras banget. Aku sempat pengen mengabadikan suara sapi-sapi itu sebagai ring tone di hapeq, tapi aku urungkan karena sapinya ternyata sangat galak.

Puasa bersama nenek, kakek, dan keluarga disana, mungkin akan menjadi agenda tahunanku. Untuk saat ini aku masih belum berbuat banyak untuk anak-anak itu, tunggulah tahun depan, aku akan datang lagi...

Selasa, 02 Agustus 2011

Al-i'tiraf (sebuah Pengakuan)



Ilaahi lastu lilfirdausi ahla
walaa aqwaa 'alannaaril jahimi
fahabli taubatan waghfir dzunuubi
fa innaka ghoofiruddzambil 'adziimi

Dzunuubi mitslu a'daadir rimaali
fahablii taubatan yaa dzaljalaali
wa'umrii naaqishun fiikulliyaumi
wa dzambii zaa-idum kaifahtimali

Ilaahi 'abdukal 'aashi ataaka
muqirron biddzunuubi waqod da'aaka
fa in taghfir fa anta lidzaaka ahlun
wa in tadrud faman narjuu siwaaka
(Abu Nawas)

Wahai Tuhanku... tidak layak aku masuk ke dalam sorga-Mu
tetapi hamba tiada kuat menerima siksa neraka-Mu
Maka kami mohon taubat dan mohon ampun atas dosaku
sesungguhnya Engkau Maha Pengampun atas dosa-dosa....

Dosa-dosaku seperti butiran pasir di pantai,
maka anegerahilah hamba taubat, wahai Yang Memiliki Keagungan
Dan umur hamba berkurang setiap hari,
sementara dosa-dosa hamba selalu bertambah, apalah dayaku

wahai Tuhanku... hamba-Mu penuh maksyiat,
datang kepada-Mu bersimpuh memohon ampunan,
Jika Engkau ampuni memang Engkau adalah Pemilik Ampunan,
Tetapi jika Engkau tolak maka kepada siapa lagi aku berharap?