Ini kali kedua sepanjang hidupku, setelah terakhir waktu kelas 2 SD aku ke dokter gigi. Aku punya kenangan buruk tentang dokter gigi. Dulu waktu aku masih duduk di kelas 2 SD kira-kira usiaku masih 8 tahun aku ke dokter gigi, gigi susuku belum sepenuhnya copot, ada beberapa bagian yang belum copot sehingga menghambat pertumbuhan gigi yang lain, karena itulah mau tidak mau aku harus mencabut gigi itu. Pengalaman pertama yang buruk, entah mungkin karena obat “mati rasa”nya belum bereaksi atau entah apa sebabnya waktu sang dokter melakukan pencabutan gigi, rasanya sakit luar biasa. Dan sejak itulah saya berjanji tidak akan lagi mengunjungi dokter gigi.
Beberapa tahun yang lalu ada lubang kecil di geraham bawah sebelah kanan, karena keisenganku lubang itu aku congkel-congkel hingga lubangnya membesar. Karena lubangnya sudah membesar dan dalam maka saraf gigiku sering bereaksi dan menimbulkan sakit yang luar biasa. Sakit gigi ini sudah mulai mengganggu aktifitas, semakin lama semakin sering ngilu, maka mau tidak mau aku harus berkunjung (lagi) ke dokter gigi.
Awalnya sangat ragu, apakah aku memliki cukup keberanian untuk terlentang di atas tempat periksa dokter gigi dengan lampu sentrong dan alat-alat yang masih membuatku takut. Tapi jika aku takut maka beberapa hari kedepan aku terpaksa harus meninggalkan kelas. Aih betapa tidak elitnya jika mahasiswa tahu bahwa dosennya tidak pergi mengajar karena sakit gigi? ini pasti memalukan. Dengan segenap pertimbangan akhirnya aku memberanikan diri untuk pergi ke dokter gigi.
Awalnya aku pergi ke klinik kampus, disana ada dokter Lukman, dokter gigi yang ganteng dan baik hati, tapi sayang karena aku datang siang hari, antrian sudah full hingga sore. Aku berencana datang keesokan harinya untuk bertemu dokter Lukman, tapi malangnya gigiku tidak mau berkompromi, nyilunya semakin menjadi-jadi, gigiku harus segera ditolong. Akhirnya aku memutuskan untuk pergi ke klinik dokter Gatot yang tidak jauh dari tempat kosku. Sepertinya dokter Gatot adalah doter gigi yang cukup terkenal, setiap aku lewat depan tempat prakteknya, selalu penuh antrian orang yang ingin diperiksa giginya.
Klinik dokter Gatot buka mulai jam 06 sore, setelah sholat maghib aku langsung meluncur ke klinik dan mendaftar untuk diperiksa, karena sudah ada beberapa yang datang sebelum aku, maka aku harus menunggu beberapa antrian. Hatiku deg-degan, tiba-tiba gigiku sudah tidak sakit, entah mungkin ini efek dari nerves yang berlebihan hingga sanggup mengeliminasi rasa sakit.
Tibalah giliranku, aku tidak berani masuk sendiri, teman kosku yang baik hati menemaniku masuk ke ruang periksa. Dokter Gatot sangat berwibawa, aku tidak tahu persis wajahnya karena dia mengenakan masker, dari tatapan mata dan suaranya, sangat terlihat bahwa dia adalah seorang dokter gigi yang berpengalaman dan profesional. Dengan senyumnya dia mempersilahkan kami masuk. “Santai saja mbak cantik, jangan tegang, ini bukan pertama kalinya ke dokter gigi kan?” Mungkin wajahku terlalu jujur untuk menyembunyikan ketegangan, aku membalas dengan senyum kecil “ah tidak dokter ini yang kedua kalinya sejak SD. Hehehehe....
Setelah melakukan interogasi singkat, dan mengetahui keluhanku, sang Dokter menyuruhku berbaring di tempat periksa. Yup inilah tempat eksekusi paling mematikan bagi gigi-gigi bermasalah. Seperti yang pernah anda sekalian lihat di televisi atau gambar atau dari manapun sumbernya, tempat dokter gigi dimanapun kurang kebih sama.
Dia mulai menjalankan tugasnya, menyuruhku berkumur, lalu buka mulut, mulailah alat seperti sendok kecil dimasukkan kedalam mulutku, tujuannya untuk lebih memudahkan untuk melihat gigiku yang bermasalah yang letaknya sangat terpencil di geraham bawah sebelah kanan. Mulailah lampu sentrong dinyalakan tepat di atas mulutku, lalu dia mengambil alat seperti penjempit kecil yang lancip lalu membersihkan kotoran yang menumpuk di lubang gigiku. Dia melakukan semuanya dengan cekatan sambil megobrol. Inilah keahlian yang harus dimiliki oleh seorang dokter gigi, pintar megalihkan perhatian. Dengan mengajak pasien bercerita sang pasien akan sedikit melupakan rasa sakit pada giginya. Dia berkali-kali meyakinkan aku bahwa ini tidak akan sakit, tapi tetap saja beberapa kali aku mengaduh kesakitan.
Setelah selesai tahap pembersihan dia mulai menjelaskan secara detail masalah gigiku, bahwa ternyata aku memiliki jumlah gigi yang lebih sedikit dari jumlah yang seharusnya dimiliki manusia dewasa. Aku hanya memiliki 29 gigi dari 32 gigi yang seharusnya aku punya. Bagian mana yang kurang? Ternyata aku hanya memiliki 4 geraham bawah (molar) dari yang seharusnya 6, 3 untuk geraham bawah kanan dan 3 geraham bawah sebelah kiri, sedangkan aku hanya memiliki masing masing 2 untuk geraham kanan dan kiri. Geraham ketigaku tidak bisa tumbuh karena tidak cukup space untuk tumbuh, dia ada tapi tidak bisa bertumbuh.
Lalu, apa yang harus dilakukan dengan gigiku sekarang? Dia menjelaskan langkah pertama yang dia lakukan pada gigiku adalah menghilangkan rasa sakitnya dengan mematikan sarafnya. Upaya mematikan syaraf ini adalah langkah awal untuk mengobati gigiku. Agar gigi tidak lagi ngilu, sarafnya harus dimatikan. Tidaklah sulit untuk melakukan itu, dia menaruh semacam kapas yang dibubuhi beberapa cairan dan memasukkan kedalam lubang gigiku.
Awalnya sungguh sangat sakit. Dia bilang ini hanya awal nanti akan lebih sakit lagi. Dia memberiku resep obat penghilang rasa sakit itu. Obat itu harus segera diminum karena tudak lama lagi cairan pembunuh saraf yang dalam kapas itu mulai bereaksi dan rasanya akan sangat sakit dan ngilu. Dia juga menyuruhku kembali ke klinik besok malam untuk memeriksa saraf dan membuka kapas yang menutupi lubang gigiku.
Sepulang dari klinik aku segera menuju apotek. Celakanya lalu lintas cukup ramai, aku terjebak beberapa menit di lampu merah, belum sampai ke apotek, obat itu bereaksi dengan cepat, gigiku sakit tak karuan, tak bisa menahan sakit hingga mengeluarkan air mata. Sesampainya di apotek, segera aku menunjukkan resep dokter pada pelayan apotek, melihat wajahku yang miris menahan sakit, dia segera memberikan obat itu dan menyarankan untuk segera meminumnya.
Celaka masih berlanjut, aku bermasalah dengan minum obat, aku tidak bisa meminum obat tanpa “makanan pengiring”. Aku masih pontang panting kesakitan memegangi pipiku yang rasanya mau meledak, teman yang mengantarkan aku ikutan panik, tanpa pikir panjang dia mengambil minuman dari lemari pendingin di ruang tunggu apotek dan menyuruhku minum. Aih sungguh sakit bukan kepalang, perpaduan air dingin dengan obat pemati syaraf sungguh dahsyat, mukaku pucat seketika tak kuat menahan sakit aku nyaris pingsan.
Temanku segera membawaku pulang, memberiku segelas air hangat dan sepotong roti agar aku bisa meminum obat itu segera. Beberapa menit kemudian perlahan aku sudah bisa bernafas lega, tidak lagi memegangi pipi dan bisa kembali tersenyum manis seperti semula. Obat ini benar-benar ces pleng, meskipun ada sedikit rasa mengganjal dalam mulutku, sepertinya malam ini aku bisa tidur dengan nyenyak. :)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar