Rabu, 18 Agustus 2010
KITA, Menikmati Cinta di Dalam Gelas Dibawah Padang Bulan (Part II)
Aku punya kesan khusus pada cerita dalam dwilogi Padang Bulan, membacanya aku seolah bercermin pada ceritaku sendiri, aku seolah menemukan kata-kata yang dapat mewakili perasaanku. Semacam aku bisa merasakan bagaimana gilanya jatuh cinta itu, bagaimana menyakitkannya cemburu itu, dan bagimana sedihnya perpisahan itu. Aku seolah menjadi Ikal, Aling, Maryamah bahkan Detektif M. Nur sekaligus, sungguh sangat mengesankan. Bagaikan menikmati cinta di dalam gelas di bawah padang bulan pada bulan Juni.....
Dan inilah kita.....
Hal paling sinting yang mungkin dilakukan umat manusia di muka bumi ini sebagian besar berasal-muasal dari cinta (Padang Bulan, h. 77). Aku sangat setuju dengan ungkapan ini, mengapa demikian, karena aku –kita- juga pernah merasakannya. Bagaimana gilanya kita saat jatuh cinta, bagaimana relanya kita begadang demi cinta, bagaimana dirimu menempuh perjalanan jauh –yang mungkin mustahil- hanya karena rindu padaku, bagaimana bodohnya aku mengejar kereta –yang tak mungkin berhenti- hanya karena ingin melihatmu, yah cinta memang membuat orang setengah sinting, tapi itulah cinta, selalu seru.....
Adakalanya menyerahkan diri pada godaan dan memelihara rahasia menjadi bagian dari indahnya menjalani hidup ini (Padang Bulan, h. 29). Cinta adalah godaan yang indah yang Tuhan telah ciptakan sejak Tuhan menciptakan Hawa. Setiap orang pasti juga punya rahasia yang ia simpan dalam peti hatinya -bahkan telah dia buang kunci peti itu- dan hanya Tuhan yang boleh tahu. Hidup ini pun penuh dengan rahasia, itulah sebabnya mengapa hidup ini terasa sangat istimewa..... Demikian juga pecinta pasti punya rahasia, dan rahasia kita biarlah tetap menjadi rahasia yang tidak akan pernah menjadi cerita, kelak jika bertemu kembali, kita akan saling melempar senyum dan memastikan bahwa rahasia akan tetap menjadi rahasia sampai kapanpun.
Karena teristimewa untuk cinta, waktu menjelma menjadi jerat. Semakin cinta melakat, semakin kuat cinta menjerat. Jika cinta yang lama itu menukik, jerat itu mencekik. (Padang Bulan, h.84). waktu adalah hal yang tidak mungkin kembali atau diputar ulang, tidak bisa dipercepat maupun diperlambat, waktu memiliki ritmenya sendiri. Jika kau terlalu menghamba pada cinta, waktumu hanya akan terbuang demi cinta, dan kau akan tercekik karena cinta itu... too much love will kill you -kira-kira begitu kata Queen-
Cemburu adalah perasaan paling aneh yang pernah diberikan Tuhan kepada Manusia (Padang Bulan, h127). Dan inilah bagian yang tidak mengenakkan dalam menjalani cinta, cemburu. Cemburu bisa terasa sangat manis tapi lebih sering menyakitkan, aku pernah didera rasa mual dan pusing berkepanjangan disertai mimpi buruk saat cemburu, sungguh aku bersepakat dengan Ikal dalam hal ini. Tapi kau tau kawan, inilah menariknya cinta, kita dapat merasakan semua rasa, rasa teraneh sekalipun.... (aku sangat menikmatinya...)
Love walks on two feet just like a human being
It stands up on tiptoes of insanity and misery (Padang Bulan, h. 223)
Hal-hal yang berbau cinta atau apapun yang berhubungan dengan cinta pastilah melibatkan dua perasaan ini, kegilaan dan juga penderitaan, insanity dan misery. Saat menikmati indahnya cinta bersiaplah jika suatu saat kau akan menderita karenya. Tapi tak mengapa karena waktu akan dapat menghapus setiap luka -Time Heals Every Wound- (Padang Bulan, h. 119)
Setiap pertemuan pasti ada alasannya, setiap kita bertemu seseorang pasti Tuhan mempunyai alasan mengapa kita dipertemukan. Demikianpun kita, bertemu, bersama, lalu berpisah, pasti Tuhan punya alasan bagus untuk itu.
Aku pernah berniat mengirimimu sebuah pesan singkat lewat ponselku –pada suatu hari nan jauh sebelum Novel Padang Bulan terbit-, bunyinya begini: “mencoba untuk ikhlas-seikhlasnya, karena tidak ada satu lembar daunpun jatuh tanpa sepengetahuan Tuhan”, aku tidak tahu mengapa aku urung mengirimkannya kepadamu, entahlah…. Tapi pesan itu hingga saat ini masih ada di kotak ‘pesan tersimpan’ dalam ponselku....
Jangan tanya bagaimana ending cerita kita, karena bagaimanapun itu pastilah tetap indah, sekalipun cinta tak lagi menyapa yakinlah bahwa semuanya tetap indah, dan biarlah seperti itu....
Tuhan telah menciptakan manusia dengan hati dan pikiran yang boleh punya jalan masing-masing, penghormatan seharusnya tidak membutuhkan pengertian (Padang Bulan, h. 237). Dan memang kita telah terpisah –bahkan mungkin jauh- sebelum kita berpisah karena alasan yang mungkin hanya Tuhan yang tahu.
Aku teringat pada puisi seorang teman lama, pada bait terakhir 1000 sajaknya dia menuliskan:
Jika suatu saat ada seorang datang bertanya kepadamu, maka katakanlah: segala yang berserah jiwa pada selain dusta adalah cinta......
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar