Senin, 18 Juni 2012

Tulisan Pertama Buat Ayah



Nama: Abu Tazid bin Noer Ahmad alias Abu Tazid Noer alias Abu Yazid
Tempat, Tanggal Lahir: Madura, 50 tahun yang lalu
Hobby: makan dan menggoda ibuku.

Dia adalah lelaki yang aku panggil Abi, lelaki yang menikahi ibuku, lelaki yg karena andilnya aku lahir kedunia, yang mengadzaniku sesaat setelah aku dilahirkan, memberiku nama yang indah, lelaki yang menjagaku dan mendoakan aku siang dan malam tak pernah putus. Dialah Ayah, bagaimanapun kau memanggil sosok ini, aku memanggilnya Abi (Ayahku).

Seseorang yang belum mengenal ayahku pastilah mengira dia orang yang menakutkan, sebagaimana profil orang Madura yang sering ditampilkan. Setelah mengenalnya asumsi itu pasti akan lenyap karena ayahku adalah pribadi yang hangat, lucu dan menggemaskan. Itu karena postur tubuhnya yang tambun, suka becanda dan apa adanya.

Abi suka sekali makan, ibadah yang paling sulit baginya adalah puasa. Hal pertama yang dia minta pada ibuku saat bangun tidur adalah memasak untuknya. Barang kali hal yang paling ditakutinya adalah mati kelaparan, meskipun itu mustahil. Tentang hobinya ini Ibuku berasumsi bahwa masa kecil ayahku pastilah sangat susah hingga kurang makan, dan saat ini dia sedang menjalankan misi balas dendamnya terhadap makanan. Aku pernah menanyakan hal ini pada Abi, tapi dia hanya tersenyum dan tetap suka makan, sekalipun Ibu sampai mencak-mencak melarangnya.

Selain makan hobinya yang lain adalah merawat tanaman hias. Pernah juga memelihara burung dan ayam bekisar tapi tidak lama semua mati. Abi sangat sedih waktu ayam bekisarnya mati mendadak, sampai tidak mau makan tiga hari, Ibuku juga ikut sedih, ah tidak, Ibu bingung karena Abi tidak mau makan. Sejak saat itulah di rumah kami tidak ada hewan peliharaan, semua perhatian dan kasih sayang tertumpu pada tanaman hias. Abi dan Ibuku sangat berjodoh dengan tanaman, apapun yang mereka tanam tumbuh dengan subur. Dari hanya satu pot kini menjadi berpuluh-puluh pot dari asal tanaman yang sama. Mereka bahu membahu merawat tanaman-tanaman itu, bagi mereka tanaman adalah keluarga. Ini wajar karena mereka hanya tinggal berdua di rumah, sedangkan aku dan adikku memilih untuk tinggal di luar kota.

Abi bukanlah tipe ayah yang romantis, dia tidak pernah mengantarkan aku sekolah dan tak pernah pengambil raporku. Pernah suatu hari aku berniat membohonginya, aku bilang jika Abi tidak datang mengambil raporku, aku terancam tidak naik kelas dan raporku ditahan. Dengan susah payah aku berusaha meyakinkan Abi, tapi reaksinya sungguh diluar dugaan, dengan santai dia bilang: “gak papa kamu tidak naik kelas, masih ada kelas berikutnya, lagian ngapain juga sekolah simpan rapormu, kurang kerjaan aja!” jika sudah begini, aku mati kutu. Padahal sejatinya aku hanyalah ingin ayahku bangga bisa naik panggung menerima piala karna aku juara satu.

Hingga sebesar ini, sepertinya aku memang belum bisa membuatnya bangga, bahkan saat aku menjadi lulusan terbaik di Magister ayahku hanya tersenyum tipis dan manggut-manggut, berbeda dengan reaksi ibuku yang mengharu biru. Bagi Abi, aku tetap anak bodoh yang tidak bisa berenang dan membedakan pohon tomat dengan pohon cabai. Bagi Abi tiga hal itu sakral mengingat bagaimana dia menjalani masa kecilnya dipesisir pantai dan hidup dari kedua orang tua petani cabai yang miskin yang tiap hari hanya bisa makan nasi dan sambal tomat. Namun belakangan aku tahu, dibalik sikap acuhnya itu, aku adalah anak perempuannya yang paling dia banggakan, anak perempuan yang mati-matian dia sekolahkan, anak yang membuatnya bisa berjalan dengan kepala tegak hingga saat ini.

Aku adalah anak perempuan, tetapi aku dibesarkan dengan cara pandang laki-laki, Abi mendidikku dengan keras. Abi pernah bilang: “hidup ini keras nak, hanya yang kuatlah yang bertahan. Sekalipun kau anak perempuan, kau harus punya kemampuan setara lelaki, fisik boleh kalah, posisi boleh berbeda, tapi otak dan akal budi tidak boleh kalah dan Tuhan memberikan kesempatan itu sama kepada semua manusia”. Saat itu, aku masih terlalu kecil untuk memahami perkataan Abi, kini aku paham bahwa Abi juga menghargai prinsip-prinsip persamaan gender.

Sejak lulus SD aku meninggalkan rumah, sesuai kehendak Abi, aku harus pergi melanglang buana mencari ilmu. Aku jarang sekali pulang, dan Abi juga melarangku pulang jika tidak libur panjang. Kami jarang sekali bertemu, komunikasi kami hanya lewat telpon yang hanya berlangsung singkat.
Kami tak selalu akur, kami sering sekali berdebat. Selain anak bodoh, aku adalah pembangkang, selalu protes ini dan itu, tak pernah mau kalah. Kami tak pernah bicara dengan serius, obrolan serius kami lalui dengan bercanda. Sampai sekarang aku takut jika Abi mengajakku membicarakan hal serius, bagiku obrolan serius itu adalah bencana. Tapi aku sadar suatu saat aku harus memberanikan diri untuk berbicara serius dengan nya membahas hal-hal yang serius pula.

Diam-diam aku mengagumi ayahku, dibalik tingkahnya yang kadang konyol dan kekanak-kanakan, dia adalah pribadi yang luar biasa. Darinya aku banyak belajar tentang ketekunan dan kesungguhan hati. Tujuan hidupnya adalah beribadah dengan tenang. Jika dengan menjadi kaya, bisa menjadikanmu lebih tenang beribadah, maka jadilah orang kaya, tapi jika yang terjadi malah sebaliknya, hidup miskin bukanlah pilihan yang sulit, begitulah prinsipnya.

Jarang sekali aku menemukan orang yang istiqomah seperti dia, yang masih suka membaca kitab-kitab kuning disela-sela waktu senggangnya. Bacaan favoritnya adalah Ihya’ Ulmuddin karangan Imam Al-Ghazali, tiap aku masuk kamarnya, kitab itu selalu bertengger dia sudut meja dalam keadaan terbuka.

Moment yang paling menyenangkan bersama Abi adalah ketika kami duduk santai di teras belakang rumah dan dia mulai bercerita tentang kisah-kisah Abu Nawas dan raja Harun Al Rasyid, kadang dia bercerita tentang masa kecilnya. Aku suka sekali jika Abi bercerita, sayang sekali dia sangat jarang melakukannya. Dia lebih senang mendengar ceritaku, cerita tentang dunia yang begitu dia impikan meskipun tak terlalu dia pahami.

Aku jarang sekali menulis tentang Abi, mungkin ini baru yang pertama, tapi sungguh aku tidak menemukan kata selesai untuk bercerita tentangnya. Dia adalah sosok yang luar biasa. Setiap Ayah pasti memiliki ceritanya yang luar biasa. Seperti halnya Ibu kasih sayang seorang Ayah juga tak pernah kering. Dialah yang memimpin doa untukmu, peluhnya dia dedikasikan untuk senyummu. Seperti dalam film “Life Is Beatifull” mungkin begitulah seharusnya figur seorang ayah.

Selamat hari Ayah Abi, kamulah orang pertama yang aku sebut dalam setiap doa sebelum Ibu.
Aku Menyayangimu.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar