Rabu, 20 Juni 2012

Sudut Gelap

Dia berlalu pergi tanpa menoleh, sambil mengumpulkan segala kekuatan untuk berjalan pulang. Sepanjang jalan hanya terdiam. Entah apa dan siapa yang dipikirkannya, yang pasti semua tak akan kembali seperti semula.

Hanya diam beriringan dengan deru bising sepanjang jalan pulang, diam justru terasa lebih nyaring. Tak ada yang bisa dikata, kata terakhirpun telah terucap.

Matanya menatap lurus kedepan, memegang kendali mobilnya benar-benar agar selamat sampai tujuan, agar rodanya terpacu dengan benar, tidak tergelincir meski pikiran sedang kocar kacir. Mencoba fokus pada jalan meski rasa melayang layang.

Entah bagian apa ini, sakit, menyesal, cinta, rindu marah melebur menjadi satu, membuat jiwa dan raga gemetar tak karuan.

Hingga sesampainya di tempat tujuan, dia berlari kedalam kamar, mencari sudut gelap itu, meringkuk, sesengguk, menangis sejadi-jadinya.

*****

Di sudut lain, ada hati yang begitu menderita, tak berdaya pada kepasrahan cinta. Seluruh cintanya dia pertaruhkan di meja judi yang bernama takdir, dan akhirnyapun dia kalah hancur lebur.

Ini lebih sakit dari apapun yang dia bayangkan. Sangat menyakitkan menyerah pada cinta yang tak tau pasti apa sebabnya, kecewa pada keadaan yang tak mampu dia hadapi. Hanya Tuhan yang tahu apa yang sebenarnya terjadi. Tapi bisa merasakan sakit itu jauh lebih baik dari mati rasa.

Dalam pada itu, ada ego yang terkoyak, ada logika yang kalah dengan rasa, dunianya jungkir balik. Kata akhir yang tak pernah dia mau terima baik secara logika maupun rasa, kini tiba-tiba muncul begitu nyata. Semua telah berakhir, yah benar-benar berakhir.

****

Di sudut gelap itu dia terus menangis sesenggukan hingga sesak sulit bernafas. Sesak oleh rasa bersalah karena tak mampu melawan takdir yang justru dia pilih sendiri. Sungguh perpisahan itu sangat menyakitkan meski dia telah mempersiapkan segala kemungkinan.

Dia tak yakin apa yang yang baru saja diucapkannya. Mungkin inilah mimpi yang harus dia lenyapkan dan kembali terbangun.

Berlahan tapi pasti nafasnya mulai beraturan. Dengan segala keberanian dia meraih phonecell, menekan tombol 1 speed deal number untuk seseorang yang mungkin ini adalah panggilan terakhir untuknya sebelum dia mengganti posisi 1 itu.

“maafkan aku” hanya kata itu yang keluar dari suaranya yang bergetar. Sementara itu, diujung telpon tetap sepi. Sungguh ini lebih sakit dari yang dia bayangkan.

****

Perjalanan pulangnya terasa lebih lama dari biasanya. Kereta melaju kencang seperti biasa, hanya hatinya yang terseok-seok tertinggal, atau mungkin sudah hilang entah dimana. Ini mimpi buruk yang selalu menghantuinya, tapi tak ada alasan untuk mundur, semua sudah diatur.

Sunyi, hatinya yang remuk kini bertambah sunyi se-sunyi sunyinya. Bunyi phonecell memecah kesunyian, dilihatnya dari nama yang sudaah dia hafal di luar kepala. Dia ragu untuk mengangkatnya, tapi mungkin inilah kesempatan terakhirnya untuk bicara.

Kata maaf berulang dari ujung telpon, tapi sang pemilik hati yang remuk itu hanya mampu terdiam, membungkam mulut rapat-rapat agar diseberang tidak tahu betapa sekuat tenaga dia menahan tangis. Ini sungguh menyedihkan.

“tidak apa, aku baik” hanya itu kata terakhir yang terucap sebelum semua benar-benar tamat.

****

Sudut gelap itu, kereta itu, perjalanan itu semuanya telah berakhir, menyisakan dua hati yang sama-sama remuk karena kejamnya takdir. Tak pernah meminta untuk jatuh cinta tapi tertakdir untuk berpisah, tak ada yang lebih melelahkan dari itu, sungguh.
Waktu dapat menyembuhkan luka. Waktu juga akan mengorek luka itu, lebih dalam dan dalam lagi. Tak ada plester atau betadin, bertahanlah, kau pasti kuat. Yakinlah semua sepadan dengan senyummu suatu hari.


*kiss n hug for my beloved sister, keep smiling*

Tidak ada komentar:

Posting Komentar