Sangat menarik menyaksikan program JLC TV one tadi malam (26/7/2011) yang mengangkat tema “salahkah media dengan pemberitaan Nazarudin?” keluarga Nazaruddin menyayangkan pemberitaan media yang terlalu berlebihan dan dianggap tidak obyektif, Komisi Penyiaran Indonesia mengingatkan media untuk lebih berhati-hati dalam mencari sumber informasi dan memberitakannya kepada masyarakat, sedangkan media sendiri dituntut untuk memberikan informasi seluar-luasnya bagi masyarakat. Terlepas dari itu semua, jika boleh jujur saya mulai jenuh dengan pemberitaan media seputar kasus Nazarudin, bagaimana tidak? Jika setiap hari media massa –khususnya televisi- terus mengekspose kasus Nazarudin yang semakin mbulet.
Sebagaimana ditulis John B. Thompson dalam Kritik Ideologi (2006:295), saat ini kita hidup ditengah masyarakat dimana penyebaran bentuk-bentuk simbol –informasi dan nilai- dengan menggunakan media elektronik telah menjadi suatu yang lazim, dan dalam hal tertentu menjadi model transmisi budaya. Kebudayaan modern pada tingkat yang lebih tinggi adalah sebuah kebudayaan yang dimediasi secara elektronik dan model-model transmini secara oral dan tulisan hanya sekedar pelengkap yang dalam berbagai sisi digantikan oleh model transmisi yang didasarkan pada media elektronik.
Setiap keberadaan media televisi memunculkan sebuah kategori atau beberapa kategori tindakan dengan tujuan dapat ditelivisikan, artinya dianggap layak ditayangkan atau ditransmisikan melalui siaran televisi. Sayangnya saat ini batasan nilai kelayakan, pantas atau tidak pantas untuk disiarkan telah memudar, tuntutan media untuk selalu menghadirkan berita secara cepat seringkali melampaui nilai akurasi dan etika yang ada. Yang menjadi prioritas adalah bagaimana menghadirkan informasi ter-update- pada pemirsanya.
Berpedoman pada suatu konsep sederhana dalam dunia jurnalistik bahwa penyampaian atas suatu informasi haruslah didasarkan pada sumber terpercaya dan cover both side artinya pers/media harus menyajikan informasi dari berbagai perspektif dan sumber terpercaya. Tapi barangkali untuk saat ini media harus melakukan cover all side karena menyangkut kepentingan banyak orang. Lalu sempatkan media melakukan cover all side jika waktu yang disediakan hanya sepersekian detik? Bagaimana cara media melakukan klarifikasi informasi jika informasi dapat berubah setiap detiknya?
Dalam dunia jurnalistik dikenal adagium bad news is gud news, kasus-kasus miring cenderung lebih banyak menyita perhatian publik, dengan kata lain memberitakan keburukan lebih menguntungkan bagi media. Mungkin karena alasan inilah keluarga Nazarudin menganggap media tidak obyektif dan lebih banyak mengungkap keburukan seseorang saja dan mengarah pada caracter assanination.
Menurut saya, media juga tidak sepenuhnya salah atas pemberitaan Nazarudin karena masyarakat berhak atas akses Informasi seluas-luasnya. Namun demikian alasan kebebasan pers tidaklah harus menafikan unsur kebenaran dan etika dalam penyampaian informasi. Jika hal ini tidak diperhatikan dalam titik tertentu akan terjadi pesimisme massal dalam masyarakat karena setiap harinya disuguhi dengan berita tidak menyenangkan tentang kondisi negara yang semakin hari semakin memprihatinkan. Bisa dibayangkan bagaimana jadinya jika mental pesimisme terus muncul, yang akan terjadi adalah the abstance of goverment karena nilai legitimasi rendah, masyarakat tidak beraturan, tidak ada optimisme, persatuan buyar, mudah diprovikasi, menjadi bodoh dan kacau.
Mungkin masyarakat membutuhkan media alternatif yang dapat memberikan sedikit pencerahan dan semangat. Dalam hal ini saya sependapat dengan Deni Indrayana dalam ceramahnya di kampus beberapa waktu lalu, beritakanlah apa adanya sampaikan kalau memang itu buruk tapi jangan lupa untuk selalu menyampaikan berita baik. Bad news is bad news good news is good news.
Tidak dapat disangkal media massa merupakan alat propaganda sosial yang paling efektif. Meluasnya akses masyarakat terhadap media serta didukung dengan teknologi informasi yang semakin aksesable menjadikan transformasi nilai maupun ideologi akan semakin mudah. Jika Rosco Pound menyebutkan fungsi hukum as a tool of social engineering maka media yang tepat untuk menggiring opini yang berujung pada perubahan perilaku adalah televisi.
Terlepas dari kepentingan politik dibalik pemberitaan Nazarudin, masyarakat yang cerdas informasi akan lebih selektif dalam menyaring arus nilai yang ditrasnformasikan media massa dan tidak mudah menerima sebuah kebenaran yang relatif. Karena semua memang tidak bebas nilai, maka pintar-pintarlah menentukan sudut pandang.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar