Sabtu, 30 April 2011

Aku dan Kartini



Aku mengenal Kartini lewat sebuah gambar yang terpajang di dinding kelas waktu aku masih duduk di bangku Taman kanak-kanak. Dia tidak sendiri, banyak gambar pahlawan-pahlawan lain seperti Pangeran Diponegoro, Pattimura, Cut Nyak Dien, Teuku Umar dan lain-lain. Lagu Ibu Kita Kartini adalah lagu yang sering aku nyanyikan disamping Garuda Pancasila saat diundang menyanyi di RRI.

Waktu aku masih duduk di bangku Sekolah Dasar, di kampungku banyak sekali perlombaan yang digelar dalam rangka memperingati Hari Kartini, rata-rata bertemakan perempuan, atau hal-hal yang berbau keperempuanan. Seperti lomba memasak, menyulam, menggambar, hingga lomba mirip Ibu kartini. Aku pernah mengikuti lomba-lomba itu tapi tidak dengan lomba bersanggul ala Kartini.

Itulah Ibu Kita Kartini, dia telah menjadi icon fashion segala jaman. Hingga saat inipun baju kebaya dan model sanggulnya menjadi dandanan wajib disetiap acara resmi bahkan dinobatkan sebagai pakaian nasional. Secara pemikiran tidak banyak yang aku ketahui tentangnya kecuali lewat karya Master Peace-nya Habis Gelap Terbitlah Terang.

Barangkali yang membedakan Kartini dengan pahlawan (Perempuan) lain adalah caranya untuk melakukan sebuah perubahan, Dia tidak mengangkat senjata bergelirnya melawan penjajah seperti halnya Cut Nyak Dien, tapi dia mampu mengubah paradigma seluruh Jawa bahkan Nusantara dengan pemikiran dan tulisannya. Dia memilih media tulisan untuk mengungkapkan ide-idenya tentang kehidupan bagi perempuan Jawa dan itu menjadi ladang perjuangannya.

Tidak banyak orang yang memilih tulisan sebagai media juangnya, karena barangkali tidak mudah untuk menjadi penulis yang istiqomah apalagi dapat merubah dunia. Seorang Kartini membuktikan bahwa dalam sebuah ruang yang sempit sekalipun kita bisa melakukan hal yang luar biasa.

Dahulu ada seorang teman yang menyebutku Kartini karena aku memenangkan lomba menulis dalam rangka hari Kartini. Ah, barang kali itu berlebihan, aku tak setangguh kartini, tidak konsisten dan mudah patah arang dalam menulis, mood dan jiwa kemalasan yang sering merajai bahkan saat keinginan menulis itu baru datang. Lebih banyak ide yang aku biarkan menguap sebelum sampai ke layar putih computer. Aku malu pada kartini.

Andai kata Kartini menyaksikan kaumnya saat ini, pasti dia akan sedih melihat generasi kaumnya yang sepertiku, seorang pemalas yang bercita-cita tinggi.

Andai kata aku bisa berkomunikasi dengannya, aku akan bilang padanya, Wahai ibu kita Kartini, maukuah kau menemaniku menulis? Paling tidak ingatkan aku tentang betapa indahnya dunia ini saat kita bisa membaginya lewat tulisan.

Selamat Hari Kartini.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar