Apa yang kamu bayangkan tentang sebuah cita-cita? Pastilah sebuah pencapaian yang indah dan spektakuler di masa depan.
Suatu hari saya melihat serial Ipin Upin, episode tentang cita-cita. Diceritakan masing-masing tokoh menggambarkan tentang cita-citanya. Ipin jadi astronot, Upin jadi ilmuwan, mey-mey jadi guru, ihsan jadi chef/koki, dan yang palik menarik perhatian adalah Fizi dia bercita-cita menjadi tukang pembersih sampah, sangat sederhana tapi membayangkannya saja membuat fizi bangga.
Adegan itu mengingatkan saya pada masa kecil dulu. Waktu saya masih bermain di Taman Kanak-kanak (waktu itu usia saya masih 3 tahunan), saya dan teman-teman TK saya ditanya oleh Ibu Guru kami tentang apa cita-cita kami jika sudah besar nanti, karena saat itu kami masih belum bisa baca tulis, sang ibu guru memberikan kami berbagai macam gambar yang boleh kami pilih sebagai representasi dari cita-cita kami.
Masing-masing gambar mewakili sebuah profesi yang ingin kami geluti saat kami besar nanti. Gambar-gambar itu sangat menarik ada gambar seseorang berbaju serba putih dengan semacam alat periksa yang tergantung didadanya, ada gambar seseorang bertopi segi tiga dari jerami dan membawa cangkul, ada juga seorang perempuan cantik berkacamata menjinjing tas di tangan kanan dan buku memeluk buku ditangan kirinya. Dari semua gambar-gambar itu ada satu yang menarik perhatian saya, seseorang berjubah hitam dengan topi segi lima dan ada semacam tali didepannya, saya belum pernah melihat orang yang berbaju seperti itu, saya terkesan dengan kostum jubah hitam itu –yang menurut saya- sangat misterius dan menarik. Setelah menunjukkan gambar itu Kepada ibu Guru barulah saya mengerti bahwa gambar itu adalah gambar seorang yang disebut dengan sarjana.
Kata ayah saya setiap orang harus punya cita-cita dalam hidupnya, tak perduli apapun itu. Seseorang yang mempunyai cita-cita dalam hidupnya berarti dia adalah orang yang optimis terhadap masa depannya. Masa depan memang tak pernah bisa diduga, Tuhan yang telah mengaturnya tapi masih bisa diperjuangkan.
Diantara semua orang yang punya cita-cita, barangkali saya termasuk orang yang tidak konsisten dalam bercita-cita. Cita-cita saya selalu berganti mengikuti situasi dan kondisi.
Saat saya duduk dibangku kelas 3 SD, cita-cita saya untuk menjadi seorang Sarjana lengser begitu saja gara-gara terpesona melihat Tin Tin (dalam serial kartun Tin-Tin) berpetualang dibulan bersama snowe (anjing kesayangannya) dan professor Kalkulus. Mereka tampak hebat menggunakan baju astronot warna orange dan bisa melayang-layang diluar angkasa. Saya berpikir betapa hebatnya seseorang yang mengenakan kostum seperti itu dan bisa melayang-layang menjelajah tata surya. dan sejak saat itu saya bertekat untuk menjadi seorang astronot.
Cerita tentang Astronot tak berlangsung lama. Saat kelas 5 SD saya berkeinginan untuk menjadi seorang Guru. Saya terinspirasi oleh Guru SD saya yang sangat baik dan jenius. Waktu itu saya berpikir alangkah hebat dan mulianya menjadi seorang Guru karena bisa membuat orang yang tidak mengerti menjadi mengerti, yang semula tidak tahu menjadi tahu, yang semula bodoh menjadi pintar. Dan astronotpun tergeser oleh Guru.
Tak hanya sampai disitu, lagi-lagi cita-cita saya goyah. Saat duduk dibangku SMP, gara-gara sering keluar masuk Rumah Sakit, saya ingin menjadi seorang dokter. Pikir saya, betapa hebatnya seorang dokter ini yang dapat menyembuhkan orang sakit.
Meski berubah-ubah, saya tidak pernah main-main dengan cita-cita, saya tidak pernah absen sekolah karena ingin cepat naik kelas dan menjadi seorang Sarjana. Mengkliping gambar-gambar astronot dan hal-hal yang berkaitan dengan ekspedisi luar angkasa, bahkan mati-matian belajar exact demi nilai 9 agar bisa jadi dokter.
Namun nampaknya takdir berkehendak lain. Tuhan telah membelokkan hati saya dan mengalihkan perhatian saya pada ilmu-ilmu sosial. Pada waktu SMA saya memilih jurusan sosial bukan eksak seperti seharusnya, padahal menurut nilai di Rapot tidak pernah ada angka 8 atau 9 untuk pelajaran Sosial, nilai sosial saya berkisar antara 6-7.
Alasan ketertarikan saya dengan ilmu sosial adalah ilmu sosial memberi saya ruang untuk belajar tentang manusia, mengerti tentang pikiran dan perilaku manusia, mencoba memahami saya, anda, kita, kami dan mereka mulai dari skup yang paling kecil (individu) hingga yang paling besar (masyarakat dunia). Faktor lain yang mendorong saya berhijrah dari ilmu eksakta ke ilmu-ilmu sosial adalah karena saya sangat menentang eksklusifitas. Dahulu di sekolah saya anak-anak yang masuk jurusan eksak adalah anak-anak yang serius, jenius, dan introfert. Mereka membuat kelompok-kelompok sendiri dan cenderung ekslusif. Karena saya tidak mau terjebak dengan lingkungan sosial yang kaku, maka saya memilih kelas sosial yang ramai dan dinamis.
Sejak saat itu, saya mulai mengasah kemampuan saya beradaptasi dalam lingkungan apapun, mencoba mengenal, memahami dan menyukai hal-hal yang asing bagi saya. Hal ini berlanjut hingga saya masuk ke perguruan tinggi, memilih Ilmu Hukum sebagai ruang belajar saya, dan Konotariatan sebagai focus kajian saya.
Tentang cita-cita, hingga saat ini baru satu cita-cita saya yang terwujud yaitu mengenakan jubah hitam dan topi segi lima. Saya telah dua kali mengenakan kostum itu, saya telah dua kali diwisuda dan telah mendapat gelar Sarjana dan Magister. Setiap mengingat mement itu, saya berkata pada diri saya sendiri, ini baru satu cita yang terwujud, selanjutnya apa lagi??
Barangkali memang benar, kita tidak akan pernah tau akan menjadi apa kita nanti, cita-cita mana yang akan terwujud. Kata ayahku, sekecil apapun cita-cita itu harus tetap dijaga, karena suatu saat nanti entah kapan, Tuhan akan memberikan waktunya untuk cita-cita itu membumi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar