Pada tahun 1993, Ronny Lukito, lelaki asal Bandung mendirikan sebuah perusahaan bernama PT. Eigerindo Multi Produk, atau yang lebih dikenal dengan Eiger, yang bergerak dalam bidang usaha manufaktur dan ritel peralatan petualangan. Eiger terinspirasi oleh nama sebuah gunung di Alpene Bernese Swiss yang tingginya mencapai 3.970 meter diatas permukaan laut. Produk Eiger milik Mr. Ronny Lukito tersebut telah menjadi brand terkemuka –asli Indonesia- dibidang peralatan-peralatan petualangan, hingga saat ini Eiger mempunyai sekitar 100 counter yang tersebar diseluruh Indonesia.
Tentu bukan karena ketenaran merk Eiger itu yang menyebabkan AAL, bocah berusia 15 tahunan harus dimejahijaukan, tetapi tindakan AAL yang secara sengaja mengambil barang atau sesuatu, yang seluruhnya atau sebagian kepunyaan orang lain, dengan maksud untuk dimiliki secara melawan hukum, itulah yang menjadi alasan yuridis mengapa hakim Pengadilan Negeri Palu, Rommel F Tampubolon, memutuskan AAL bersalah atas dakwaan pencurian sandal jepit bermerk Eiger nomor 43 milik seorang Briptu di Palu. Bukan merk atau ukuran yang menjadi masalah, tapi semua unsur yang ada dalam Pasal 362 KUHP tentang pencurian terbukti secara sah meyakinkan telah dilakukan oleh AAL. Demikianlah kira-kira kesimpulan keputusan hakim yang dibacakan dalam sidang hari Rabu yang lalu (4/1/2012).
Kejadian pencurian sandal ini cukup mencuri perhatian masyarakat, bahkan di berbagai tempat dilakukan aksi simpati terhadap nasib AAL dengan mengumpulkan sandal jept sebanyak-banyaknya. Ada tiga alasan mengapa kasus ini sangat menarik, pertama, pencuri adalah anak yang masih dibawah umur, kedua yang dicuri adalah sandal (yang tingkat ‘prestisiusnya’ terabaikan) dan yang ketiga adalah korban pencurian adalah seorang aparat polisi. Disisi lain, tentu ini menjadi tamparan keras bagi korps kepolisian yang saat ini sedang memperbaiki citranya justru dianggap gila hormat dan ‘lebay’ dengan menuntut seorang anak dibawah umur hanya karena mencuri sandal.
Ini bukan kasus pertama kali dan satu-satunya yang meyedot perhatian publik, banyak kasus lain seperti Prita Mulyasari, nenek pencuri singkong, anak pencuri setandan pisang dan sebagainya, yang membuat masyarakat geram karena menganggap tidak seharusnya hukum bertindak sedemikian atas kasus remeh-temeh semacam itu.
Terlepas dari opini yang kini berkembang di masyarakat, kasus-kasus seperti ini selalu menimbulkan pertanyaan, apakah ini memang yang seharusnya dilakukan oleh hukum? jika memang bukan itu apa yang seharusnya dilakukan oleh hukum dalam konteks negara ini sebagai negara hukum?
Positivisme yuridis vs Keadilan
Dalam konsep negara hukum ada tiga komponen yang harus dipenuhi, pertama rule of law, kedua supreme of law, dan ketiga penghormatan HAM. Bagaimanapun bentuk hukum itu dalam negara hukum semua harus terkondisikan untuk mendukung tiga komponen tersebut.
Gustav Radburch menyatakan bahwa tujuan hukum itu ada tiga, pertama keadilan, kemanfaatan dan kepastian hukum. Ketiganya harus berjalan bersamaan, jika tidak bisa, maka keadilanlah yang harus diutamakan.
Namun demikian, implementasinya tak semudah itu. Nilai keadilan yang abstrak harus dimanifestasikan dalam formalitas hukum yang konkrit. Ini untuk menjamin kepastian hukum dalam supreme of law, hukum harus formal legalistis sebagai manifestasi rule of law dan hukum juga harus merata dan tidak pandang bulu sebagai manifestasi dari equality before the law dalam konsep HAM.
Hal ini sepenuhnya tidak salah, jika kita berpegang pada formalitas yuridis versi John Austin. Bagi Austin, hukum, bukan persoalan adil-tidak adil, dan juga bukan soal relevan atau tidak dengan pergumulan dunia riil. Satu-satunya yang relevan jika berbicara tentang hukum, adalah ia ada dan sah secara yuridis. Tata hukum itu nyata dan berlaku, bukan karena mempunyai dasar dalam kehidupan sosial, bukan pula karena hukum itu bersumber pada jiwa bangsa, bukan pula karena cermin keadilan dan logos, tetapi karena hukum itu mendapat bentuk positifnya dari institusi yang berwenang. Justifikasi hukum ada di segi formal-legalistiknya, baik bagi segi wujud perintah penguasa maupun derivasi dari norma dasar (grundnorm).
Dalam negara hukum yang menganut sistem hukum eropa kontinental kasta tertinggi adalah rule of law dengan hukum positif (tertulis) sebagai panduannya. Dalam hal ini bentuk formal hukum (undang-undang) memegang peran penting. Celakanya, hukum kita selalu terjebak dalam positifisme dan legalitas hukum sehingga hanya memandang hukum dari apa yang bisa kita terima oleh panca indera. Keadilan itu terlihat dan termanifestasi dari teks-teks aturan dan putusan hakim.
Menurut pandangan positifistik, apa yang dilakukan hukum (putusan hakim) terhadap kasus sandal jepit itu telah benar, tidak ada yang terlu dipertentangkan. Secara formal yuridis AAL telah memenuhi rumusan Pasal 362 KUHP tentang pencurian (rule of law) dan tidak betentangan dengan HAM (equality before the law).
Namun tampaknya masyarakat tidak berpikir demikian, apa yang dialami oleh AAL merupakan the abstain of justice (hilangnya nilai keadilan dalam hukum). Keadilan itu tidak hanya dipahami secara teks-teks yuridis tetapi lebih kepada nilai kemanusiaan. Sederhananya, meskipun secara formal yuridis pencurian yang dilakukan AAL adalah salah, tapi tidaklah manusiawi dan tidak adil jika hal itu sampai ‘mampir’ di meja hijau karena obyek yang dicuri hanyalah sebuah sandai jepit.
Bagi Max Weber mungkin masyarakan kita sudah sampai pada tingkat rasionalitas penuh dengan otoritas rasional, dimana hukum dibuat dan dijalankan berdasarkan kewenangan formal oleh negara. Namun secara pemikiran masyarakat mulai melangkah pada progresifitas hukum dimana lebih mengutamakan tujuan dan konteks ketimbang teks-teks aturan semata.
Hukum progresif lebih mengutamakan tujuan dan konteks daripada teks-teks aturan semata, dan disini persoalan diskresi (keleluasaan hakim dalam menafsirkan teks) menjadi sangat urgen. Dalam konteks diskresi, para penyelenggara hukum dituntut untuk memilih dengan bijaksana bagaimana ia harus bertindak. Otoritas yang ada pada mereka berdasarkan aturan-aturan formal, dipakai sebagai dasar untuk menempuh cara yang bijaksana dalam menjalankan tugasnya berdasarkan pendekatan moral daripada ketentuan-ketentuan formal.
Mungkin konsep diskresi ini yang seharusnya dapat dimanfaatkan oleh hakim Pengadilan Negeri Palu dalam kasus AAL vs sandal jepit Briptu. Hakim tidak hanya menjalankan apa yang diperintahkan oleh teks-teks (aturan) formal tetapi menggali nilai moral demi terwujdnya keadilan. Untunglah, pada akhirnya hakim tidak kebablasan dalam memutus perkara, tidak memenjarakan AAL dan mengambil langkah –seharusnya- ‘aman’ dengan mengembalikan AAL kepada orang tuanya setelah diputus bersalah secara hukum.
Keadilan = Sandal Jepit
Sejatinya keadilan itu tidak boleh di hadapkan secara vis a vis dengan positivisme hukum. Keadilan dan kepastian hukum tidak boleh menjadi oposisibiner, apalagi menjadi teralienasi satu sama lain. Keadilan harus menjadi nafas hukum, keadilan menjadi bagian yang integral dan merupakan inti dari hukum, bukan malah menjadi entitas yang berbeda dari hukum. Jika positivisme hukum mereduksi atau menjauhi nilai keadilan, maka hakim harus berani memposisikan diri sebagai jembatan untuk mendekatkan jarak kesenjangan itu.
Keadilan itu mungkin hanya sebatas dan selevel sandal jepit, atau bahkan keadilan itu memang seharusnya selevel dengan sandal jepit yang membumi. Sebuah sandal, apapun mereknya, Eiger, Converse, crocs atau bahkan swallow sekalipun tidak akan merubah kondrat sandal sebagai alas kaki yang letaknya dibawah. Keadilan bagaimanapun bentuk dan rupanya, dia harus menjadi alas dan pijakan (nilai) untuk berjalannya sebuah hukum. Tidak menjadi barang mewah yang unreachable.
Mungkin ada benarnya jika merujuk pada pemikiran Gurvitch bahwa seharusnya keadilan itu menjadi nilai hidup bersama yang utama, hal ini hanya bisa dilakukan jika bisa meleburkan ‘aku’ dan ‘engkau’ menjadi ‘kita’ sehingga keadilan itu bukan hanya milik-ku, milik-mu atau milik-nya tetapi milik kita.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar