Jumat, 29 Juni 2012

27 on 27

Dua hari yang lalu (27 Juni) aku merayakan ulang tahun (27 tahun), ulang tahun kali ini terasa berbeda. Mungkin karena memang berniat untuk dirayakan. Seingatku terakhir kali merayakan ulang tahun lima tahun yang lalu di panti asuhan, tahun tahun berikutnya ulang tahun sama saja seperti hari biasa, kecuali coretan d wall fesbuk yang penuh ucapan selamat dan doa.

Kali ini aku merayakan di kampus, tempat dimana aku menjalani kesibukan sehari-hari. Di bagian tempat aku bekerja (Hukum Internasional/HI) ada tradisi unik, setiap ada yang ulang tahun selalu dirayakan, semacam perayaan anak kecil lengkap dengan balon dan pita-pita. Tak perduli setua apa yang berulang tahun entah itu pejabat kepala bagian atau dosen baru, semuanya dirayakan meriah seperti pesta anak belasan tahun.

Tak terkecuali ulang tahunku. semua sudah dipersiapkan, balon, pita, tart, snack, makanan dan minuman. Menu spesial hari itu adalah sate gule Madura khusus dibuat oleh saudara yang punya warung sate gule “Abah Acil” asli Madura. Seperti biasa pesta d HI selalu meriah, tidak hanya dari kalangan dosen, mahasiswa konsentrasi HI dan karyawanpun ikut meramaikan. Senang sekali semua makanan bisa ludes, gak bisa bayangin jika gule sepanci gada yang makan 

Malamnya aku makan-makan bersama teman-teman kos, hanya 3 orang, satu teman kos baru yang lain teman kos lama. Aku tidak terlalu punya banyak teman, maklumlah rata-rata dari mereka hanyalah pendatang pencari ilmu yang sehabis lulus kembali kenegara asalnya masing-masing atau melanjutkan perjalanan ke tempat berikutnya. Karena teman datang dan pergi, hanya sedikit yang masih tertinggal d Malang. Awalnya juga mengajak adik dan sepupu, tapi karena musim ujian, mereka tak ada yang ikut alasan sibuk.

Sama dengan tahun-tahun sebelumnya, ayah dan ibu tak ingat hari ulang tahunku, mereka baru sadar setelah aku menelpon. Bagiku itu bukan masalah besar, karena memang kami tidak menganggap ulang tahun adalah hari spesial. Semua hari adalah sama, setiap hari juga penuh dengan doa. Aku juga setuju dengan itu, selebrasi hanya sebuah seremoni yang tidak bisa mengalahkan dahsyatnya doa siang malam tanpa henti.

Hal paling menyenangkan adalah saat menyadari bahwa sekalipun jauh dari keluarga, banyak orang yang selalu mencurahkan aksihnya untukku. Aku mengamini semua doa baik terhadapku. Entah doa mana yang akan terkabul lebih dulu, yang kuyakini Tuhan itu Maha Kasih Sayang, semua doa pasti terkabul, Dia-lah yang menentukan timing yang pas.

Hingga detik ini tak ada yang tidak bisa disyukuri. Jika ada satu kata yang dapat mewakili hidupku di 27 tahun ini adalah “bahagia”. Aku bahagia dengan apa yang aku alami hingga saat ini, dan aku amat sangat mensyukuri itu.

Rabu, 20 Juni 2012

Susah Catuh Cinta

Kau selalu mengeluh kadang merengek bahkan geram karena lelah merayuku tapi aku tak bergerak sedikitpun. Kau bilang susah sekali meluluhkan hatiku, membuatku jatuh cinta padamu.

Tahukah kamu, aku ingin bertemu seseorang yang hanya dengan menatap matanya hatiku meleleh, hanya dengan melihat senyumnya hatiku sumringah. Bukan dengan berjuta kata cinta meronta yang justru membuatku tidak bersahaja.

Sebenarnya tak susah sama sekali membuatku jatuh cinta, cukup jadilah dirimu sendiri, treath me with your heart, dan biarkan Tuhan menjalankan tugasnya 

Sudut Gelap

Dia berlalu pergi tanpa menoleh, sambil mengumpulkan segala kekuatan untuk berjalan pulang. Sepanjang jalan hanya terdiam. Entah apa dan siapa yang dipikirkannya, yang pasti semua tak akan kembali seperti semula.

Hanya diam beriringan dengan deru bising sepanjang jalan pulang, diam justru terasa lebih nyaring. Tak ada yang bisa dikata, kata terakhirpun telah terucap.

Matanya menatap lurus kedepan, memegang kendali mobilnya benar-benar agar selamat sampai tujuan, agar rodanya terpacu dengan benar, tidak tergelincir meski pikiran sedang kocar kacir. Mencoba fokus pada jalan meski rasa melayang layang.

Entah bagian apa ini, sakit, menyesal, cinta, rindu marah melebur menjadi satu, membuat jiwa dan raga gemetar tak karuan.

Hingga sesampainya di tempat tujuan, dia berlari kedalam kamar, mencari sudut gelap itu, meringkuk, sesengguk, menangis sejadi-jadinya.

*****

Di sudut lain, ada hati yang begitu menderita, tak berdaya pada kepasrahan cinta. Seluruh cintanya dia pertaruhkan di meja judi yang bernama takdir, dan akhirnyapun dia kalah hancur lebur.

Ini lebih sakit dari apapun yang dia bayangkan. Sangat menyakitkan menyerah pada cinta yang tak tau pasti apa sebabnya, kecewa pada keadaan yang tak mampu dia hadapi. Hanya Tuhan yang tahu apa yang sebenarnya terjadi. Tapi bisa merasakan sakit itu jauh lebih baik dari mati rasa.

Dalam pada itu, ada ego yang terkoyak, ada logika yang kalah dengan rasa, dunianya jungkir balik. Kata akhir yang tak pernah dia mau terima baik secara logika maupun rasa, kini tiba-tiba muncul begitu nyata. Semua telah berakhir, yah benar-benar berakhir.

****

Di sudut gelap itu dia terus menangis sesenggukan hingga sesak sulit bernafas. Sesak oleh rasa bersalah karena tak mampu melawan takdir yang justru dia pilih sendiri. Sungguh perpisahan itu sangat menyakitkan meski dia telah mempersiapkan segala kemungkinan.

Dia tak yakin apa yang yang baru saja diucapkannya. Mungkin inilah mimpi yang harus dia lenyapkan dan kembali terbangun.

Berlahan tapi pasti nafasnya mulai beraturan. Dengan segala keberanian dia meraih phonecell, menekan tombol 1 speed deal number untuk seseorang yang mungkin ini adalah panggilan terakhir untuknya sebelum dia mengganti posisi 1 itu.

“maafkan aku” hanya kata itu yang keluar dari suaranya yang bergetar. Sementara itu, diujung telpon tetap sepi. Sungguh ini lebih sakit dari yang dia bayangkan.

****

Perjalanan pulangnya terasa lebih lama dari biasanya. Kereta melaju kencang seperti biasa, hanya hatinya yang terseok-seok tertinggal, atau mungkin sudah hilang entah dimana. Ini mimpi buruk yang selalu menghantuinya, tapi tak ada alasan untuk mundur, semua sudah diatur.

Sunyi, hatinya yang remuk kini bertambah sunyi se-sunyi sunyinya. Bunyi phonecell memecah kesunyian, dilihatnya dari nama yang sudaah dia hafal di luar kepala. Dia ragu untuk mengangkatnya, tapi mungkin inilah kesempatan terakhirnya untuk bicara.

Kata maaf berulang dari ujung telpon, tapi sang pemilik hati yang remuk itu hanya mampu terdiam, membungkam mulut rapat-rapat agar diseberang tidak tahu betapa sekuat tenaga dia menahan tangis. Ini sungguh menyedihkan.

“tidak apa, aku baik” hanya itu kata terakhir yang terucap sebelum semua benar-benar tamat.

****

Sudut gelap itu, kereta itu, perjalanan itu semuanya telah berakhir, menyisakan dua hati yang sama-sama remuk karena kejamnya takdir. Tak pernah meminta untuk jatuh cinta tapi tertakdir untuk berpisah, tak ada yang lebih melelahkan dari itu, sungguh.
Waktu dapat menyembuhkan luka. Waktu juga akan mengorek luka itu, lebih dalam dan dalam lagi. Tak ada plester atau betadin, bertahanlah, kau pasti kuat. Yakinlah semua sepadan dengan senyummu suatu hari.


*kiss n hug for my beloved sister, keep smiling*

Senin, 18 Juni 2012

Tulisan Pertama Buat Ayah



Nama: Abu Tazid bin Noer Ahmad alias Abu Tazid Noer alias Abu Yazid
Tempat, Tanggal Lahir: Madura, 50 tahun yang lalu
Hobby: makan dan menggoda ibuku.

Dia adalah lelaki yang aku panggil Abi, lelaki yang menikahi ibuku, lelaki yg karena andilnya aku lahir kedunia, yang mengadzaniku sesaat setelah aku dilahirkan, memberiku nama yang indah, lelaki yang menjagaku dan mendoakan aku siang dan malam tak pernah putus. Dialah Ayah, bagaimanapun kau memanggil sosok ini, aku memanggilnya Abi (Ayahku).

Seseorang yang belum mengenal ayahku pastilah mengira dia orang yang menakutkan, sebagaimana profil orang Madura yang sering ditampilkan. Setelah mengenalnya asumsi itu pasti akan lenyap karena ayahku adalah pribadi yang hangat, lucu dan menggemaskan. Itu karena postur tubuhnya yang tambun, suka becanda dan apa adanya.

Abi suka sekali makan, ibadah yang paling sulit baginya adalah puasa. Hal pertama yang dia minta pada ibuku saat bangun tidur adalah memasak untuknya. Barang kali hal yang paling ditakutinya adalah mati kelaparan, meskipun itu mustahil. Tentang hobinya ini Ibuku berasumsi bahwa masa kecil ayahku pastilah sangat susah hingga kurang makan, dan saat ini dia sedang menjalankan misi balas dendamnya terhadap makanan. Aku pernah menanyakan hal ini pada Abi, tapi dia hanya tersenyum dan tetap suka makan, sekalipun Ibu sampai mencak-mencak melarangnya.

Selain makan hobinya yang lain adalah merawat tanaman hias. Pernah juga memelihara burung dan ayam bekisar tapi tidak lama semua mati. Abi sangat sedih waktu ayam bekisarnya mati mendadak, sampai tidak mau makan tiga hari, Ibuku juga ikut sedih, ah tidak, Ibu bingung karena Abi tidak mau makan. Sejak saat itulah di rumah kami tidak ada hewan peliharaan, semua perhatian dan kasih sayang tertumpu pada tanaman hias. Abi dan Ibuku sangat berjodoh dengan tanaman, apapun yang mereka tanam tumbuh dengan subur. Dari hanya satu pot kini menjadi berpuluh-puluh pot dari asal tanaman yang sama. Mereka bahu membahu merawat tanaman-tanaman itu, bagi mereka tanaman adalah keluarga. Ini wajar karena mereka hanya tinggal berdua di rumah, sedangkan aku dan adikku memilih untuk tinggal di luar kota.

Abi bukanlah tipe ayah yang romantis, dia tidak pernah mengantarkan aku sekolah dan tak pernah pengambil raporku. Pernah suatu hari aku berniat membohonginya, aku bilang jika Abi tidak datang mengambil raporku, aku terancam tidak naik kelas dan raporku ditahan. Dengan susah payah aku berusaha meyakinkan Abi, tapi reaksinya sungguh diluar dugaan, dengan santai dia bilang: “gak papa kamu tidak naik kelas, masih ada kelas berikutnya, lagian ngapain juga sekolah simpan rapormu, kurang kerjaan aja!” jika sudah begini, aku mati kutu. Padahal sejatinya aku hanyalah ingin ayahku bangga bisa naik panggung menerima piala karna aku juara satu.

Hingga sebesar ini, sepertinya aku memang belum bisa membuatnya bangga, bahkan saat aku menjadi lulusan terbaik di Magister ayahku hanya tersenyum tipis dan manggut-manggut, berbeda dengan reaksi ibuku yang mengharu biru. Bagi Abi, aku tetap anak bodoh yang tidak bisa berenang dan membedakan pohon tomat dengan pohon cabai. Bagi Abi tiga hal itu sakral mengingat bagaimana dia menjalani masa kecilnya dipesisir pantai dan hidup dari kedua orang tua petani cabai yang miskin yang tiap hari hanya bisa makan nasi dan sambal tomat. Namun belakangan aku tahu, dibalik sikap acuhnya itu, aku adalah anak perempuannya yang paling dia banggakan, anak perempuan yang mati-matian dia sekolahkan, anak yang membuatnya bisa berjalan dengan kepala tegak hingga saat ini.

Aku adalah anak perempuan, tetapi aku dibesarkan dengan cara pandang laki-laki, Abi mendidikku dengan keras. Abi pernah bilang: “hidup ini keras nak, hanya yang kuatlah yang bertahan. Sekalipun kau anak perempuan, kau harus punya kemampuan setara lelaki, fisik boleh kalah, posisi boleh berbeda, tapi otak dan akal budi tidak boleh kalah dan Tuhan memberikan kesempatan itu sama kepada semua manusia”. Saat itu, aku masih terlalu kecil untuk memahami perkataan Abi, kini aku paham bahwa Abi juga menghargai prinsip-prinsip persamaan gender.

Sejak lulus SD aku meninggalkan rumah, sesuai kehendak Abi, aku harus pergi melanglang buana mencari ilmu. Aku jarang sekali pulang, dan Abi juga melarangku pulang jika tidak libur panjang. Kami jarang sekali bertemu, komunikasi kami hanya lewat telpon yang hanya berlangsung singkat.
Kami tak selalu akur, kami sering sekali berdebat. Selain anak bodoh, aku adalah pembangkang, selalu protes ini dan itu, tak pernah mau kalah. Kami tak pernah bicara dengan serius, obrolan serius kami lalui dengan bercanda. Sampai sekarang aku takut jika Abi mengajakku membicarakan hal serius, bagiku obrolan serius itu adalah bencana. Tapi aku sadar suatu saat aku harus memberanikan diri untuk berbicara serius dengan nya membahas hal-hal yang serius pula.

Diam-diam aku mengagumi ayahku, dibalik tingkahnya yang kadang konyol dan kekanak-kanakan, dia adalah pribadi yang luar biasa. Darinya aku banyak belajar tentang ketekunan dan kesungguhan hati. Tujuan hidupnya adalah beribadah dengan tenang. Jika dengan menjadi kaya, bisa menjadikanmu lebih tenang beribadah, maka jadilah orang kaya, tapi jika yang terjadi malah sebaliknya, hidup miskin bukanlah pilihan yang sulit, begitulah prinsipnya.

Jarang sekali aku menemukan orang yang istiqomah seperti dia, yang masih suka membaca kitab-kitab kuning disela-sela waktu senggangnya. Bacaan favoritnya adalah Ihya’ Ulmuddin karangan Imam Al-Ghazali, tiap aku masuk kamarnya, kitab itu selalu bertengger dia sudut meja dalam keadaan terbuka.

Moment yang paling menyenangkan bersama Abi adalah ketika kami duduk santai di teras belakang rumah dan dia mulai bercerita tentang kisah-kisah Abu Nawas dan raja Harun Al Rasyid, kadang dia bercerita tentang masa kecilnya. Aku suka sekali jika Abi bercerita, sayang sekali dia sangat jarang melakukannya. Dia lebih senang mendengar ceritaku, cerita tentang dunia yang begitu dia impikan meskipun tak terlalu dia pahami.

Aku jarang sekali menulis tentang Abi, mungkin ini baru yang pertama, tapi sungguh aku tidak menemukan kata selesai untuk bercerita tentangnya. Dia adalah sosok yang luar biasa. Setiap Ayah pasti memiliki ceritanya yang luar biasa. Seperti halnya Ibu kasih sayang seorang Ayah juga tak pernah kering. Dialah yang memimpin doa untukmu, peluhnya dia dedikasikan untuk senyummu. Seperti dalam film “Life Is Beatifull” mungkin begitulah seharusnya figur seorang ayah.

Selamat hari Ayah Abi, kamulah orang pertama yang aku sebut dalam setiap doa sebelum Ibu.
Aku Menyayangimu.