Selasa, 17 April 2012

Kenangan Masa SD




Beberapa waktu lalu teman SD saya membuat group di fesbuk, anggotanya adalah alumnus MI (Madrasah Ibtidaiyah/ setingkat SD) Zainul Hasan tempat dulu kami belajar. Meski anggotanya dari berbagai macam angkatan, tapi yang paling aktif adalah angkatan kami.

Kami saling bertukar kabar, berbincang seputar kegiatan masing-masing, meski didominasi oleh obrolan nostalgia dan kisah cinta monyet anak kecil. Seru sekali melihat kami saling membalas comment yang menadakan jika kami masih saling merindukan.

Yang paling mengharukan adalah saat diposting foto bersama kami saat kelas 6. Ini adalah foto wajib untuk setiap angkatan yang akan disimpan dalam album kenangan sekolah. Kami berseragam putih-putih dengan jilbab hitam bagi yang perempuan. Sekolah kami adalah sekolah Islam jadi sejak kelas 3 SD bagi yang perempuan diharuskan mengenakan kerudung, meski rok yang kami gunakan hanya sepanjang lutut.

Lucu sekali melihat foto itu, teringat kembali masa-masa kecil disekolah reot dipinggiran sungai Bedadung. Sugai Bedadung adalah sungai terbesar di Kabupaten Jember, melintang disepanjang utara hingga pantai selatan. Sekolah kami terletak tepat di pinggiran sungai itu, jadi bisa dibayangkan saat hujan bangku-bangku kami hanyut diterjang banjir. Jika sudah begitu masjid-lah yang menjadi lokasi belajar. Setelahnya kami harus kerja bakti membersihkan sampah dan lumpur yang masih tersisa.

Dulu sekolah kami itu tak berdaun cendela dan tak berdaun pintu, hanya bangunan sederhana dipinggiran sungai yang siap hanyut kapan saja. Saat ini, sekolah kami sudah direnofasi total, jauh lebih layak dan representatif untuk belajar, serta berhasil menjadi salah satu sekolah unggulan di Kabupaten Jember. Saya mengikuti perkembangannya karna kakak sepupu saya (yang juga alumnus) mengabdikan ilmunya disana.

Melihat satu-persatu wajah itu, membuat saya tersadar, betapa cepatnya waktu berlalu. Sudah 15 tahun sejak kelulusanku tahun 1997 lalu. Setelah lulus, saya melanglang buana, meneruskan tradisi keluarga, meninggalkan rumah, pergi ke tempat jauh untuk belajar. Tak lagi bertemu teman-teman, kominikasi terputus.

Nama-nama mereka masih saya ingat, hanya beberapa yang masih sering bertemu saat saya pulang karna kebetulan kami bertetangga, dan yang lain entah sedang apa dan berada dibelahan dunia mana tak ada kabar pastinya.

Sekali lagi, jejeraing sosial menjadi penanda kuasa Tuhan. Menjadi ajang silaturrahmi, menjadi ajang reuni yang tak perlu tempat dan waktu khusus, kapanpun dan dimanapun.

Minggu, 15 April 2012

Menjelajah Mencari Alien



Cerita-cerita Dee semacam suplemen bagi saya, penyemangat dan penyegar diantara tumpukan diktat-diktat kuliah yang membosankan. Kali ini vitamin itu berjudul “Partikel”. Saya butuh waktu 24 jam untuk menyelesaikan buku setebal 493 halaman, tentu sambil disambi yang lain. Novel ke 4 dari serial Supernova yang ditunggu-tunggu selama delapan tahun akhirnya muncul juga. Kali ini tokohnya bernama Zarah, gadis berdarah Arab-Sunda yang mempunyai ‘mata istimewa/special eye’

Zarah artinya Partikel, susunan terkecil dari alam, dalam bahasa Arab juga dikenal dengan “dzarrah”. Partikel menceritakan petualangan Zarah yang mencari ayahnya, Firas, yang hilang pada suatu malam dan tidak pernah kembali. Berbagai macam spekulasi muncul dari hilangnya sang Ayah, mulai hal-hal yang berbau mistis, hingga temuan adanya rahasia lain alam semesta. Alien.

Membaca partikel seperti sedang melakukan inner journey (pinjam istilah dari teman), banyak kejutan di dalamnya. Zarah tidak hanya mencari ayah, tetapi mencari jati diri. Hal yang paling sulit adalah menaklukkan diri sendiri. Dalam Partikel juga diceritakan tentang masalah keluarga, pendidikan dan lingkungan, tentu cerita cinta masuk didalamnya.

Seperti di novel-novel superova sebelumnya, Dee menyajikan petualangan alam dan spiritual. Dee selalu berhasil mengelaborasi ilmu pengetahuan dan keyakinan, dunia fisika dan metafisika, dunia realitas dan spirit. Menggabungkan dunia fotografi dan ritual memanggil roh, mengawinkan Nikkon FM2/T dengan ramuan Iboga.

Sepanjang membaca novel ini, emosi pembaca juga diaduk-aduk. Terhanyut saat Zarah berpamitan kepada sang ibu (Aisyah) dan adiknya (Hara) untuk pergi ke London, bergelora saat membayangkan kisah cinta Zarah dengan Storm, sang pangeran tampan, kecewa dan geram saat penghianatan dilakukan oleh sahabatnya yang ia bela mati-matian (Koso), dan tentu sangat penasaran saat Zarah bertemu dengan Pak Simon, WNI yang memegang kunci misteri keberadaan ayahnya. Adanya tokoh-tokoh lain seperti Abah, Umi, Paul, Zach, Ibu Inge dan Sarah si Orangutan membuat cerita ini semakin kuat dan mengalir lembut meski cerita dibuat tidak linier. Yang paling saya suka adalah saat Dee menyajikan dialog-dialog filosofis dalam bahasa ringan dan masuk akal.

Partikel juga mengajak pembaca lebih mengenal dan menyatu dengan alam, memahami tingkah laku binatang, tetumbuhan, jejamuran, Fungi, dan fenomena crop circle. Over all Dee sukses menyajikan cerita fiksi dan sarat unsur ilmiah, serta membuat kita sadar posisi kita, manusia, dalam alam kehidupan semesta.

Tentu untuk melahirkan karya seperti itu dibutuhkan rahim yang kuat, nutrisi yang sehat agar janin keluar dengan sempurnya. Butuh riset mendalam untuk menemukan formulasi yang pas agar fakta, fiksi dan rasa melebur dalam kata, dan waktu delapan tahun itu setimpal dengan Partikel yang luar biasa. Four tumbs up buat Dee, gak sabar menunggu Gelombang.